Wednesday, 30 March 2016

KONSERVASI ARSITEKTUR TUGAS 2: Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY


Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah

 














Lawang Sewu merupakan sebuah gedung di Semarang, Jawa Tengah yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Saat ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero. Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda, pada 27 Februari 1904. Awalnya bangunan tersebut didirikan untuk digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau Kantor Pusat Perusahan Kereta Api Swasta NIS. Sebelumnya kegiatan administrasi perkantoran NIS dilakukan di Stasiun Samarang NIS. Namun pertumbuhan jaringan perkeretaapian yang cukup pesat, dengan sendirinya membutuhkan penambahan jumlah personel teknis dan bagian administrasi yang tidak sedikit seiring dengan meningkatnya aktivitas perkantoran. Salah satu akibatnya kantor pengelola di Stasiun Samarang NIS menjadi tidak lagi memadai. NIS pun menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai jalan keluar sementara. Namun hal tersebut dirasa tidak efisien. Belum lagi dengan keberadaan lokasi Stasiun Samarang NIS yang terletak di kawasan rawa-rawa hingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting. Kemudian diputuskan untuk membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal). NIS mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Negeri Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangi di Amsterdam tahun 1903.

Konservasi Bangunan Lawang Sewu
Konservasi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menghambat atau melindungi bangunan dari pengaruh penyebab kerusakan lebih lanjut sehingga dapat memperpanjang usia bangunan. Bidang konservasi mempunyai tugas yang penting dalam pemugaran bangunan cagar budaya yaitu sejak sebelum pemugaran, pelaksanaan pemugaran dan setelah pemugaran selesai. Di dalam studi  pemugaran gedung Lawang Sewu ini, bidang konservasi melaksanakan pekerjaan observasi kerusakan bahan bangunan, rencana penanganan termasuk bahan konservasi yang digunakan.
Berdasarkan trilogi teknik konservasi tentang :
-          Pemahaman tentang kaidah dan estetika konservasi (nasional maupun internasional)
-          Pemahaman tentang factor-faktor intrinsic dan ekstrinsik penyebab kerusakan dan pelapukan bangunan
-          Perlakukan metode diagnostic dalam melakukan kajian-kajian teknik konservasi

Gedung Lawang Sewu bagi masyakarat dan petunjuk pengelolaan gedung Lawang Sewu bagi pengelola bangunan. Menyadari bahwa warisan ini pada dasarnya tak terbarukan (non renewable) dan perlahan tapi pasti akan punah, upaya pelestarian menjadikan para pemerhati yang peduli akan nilai dan manfaat warisan budaya berupaya dan berpikir positif bahwa masyarakat membutuhkan pembelajaran dan pembuktian. PT Kereta Api (persero) dalam konteks sisem kebudayaan juga semakin dituntut untuk menjadi pelopor di bidang heritage management, salah satunya adalah melestarikan warisan budaya dilingkungannya sendiri sebagai bentuk upaya memperkokoh jati diri perusahaan sekaligus sebagai bentuk Corporate Social Responsibility kepada masyarakat.




Elemen estetika dan bahan bangunan
Kantor NIS dihiasi berbagai ornament karya seniman dan pengrajin terkenal dari Belanda di masa itu. Di ruang penerima terdapat kaca patri buatan JL Schouten dari studio t’ Prinsenhof di kota Delft. Kaca patri ini sampai sekarang menjadi salah satu daya tarik utama gedung ini. Bidang lengkung di atas balkon dihiasi ornament tembikar karya HA Koopman dan dibuat di pembakaran tembikar Joost Thooft dan Labouchere. Kubah kecil di puncak kedua buah menara air dilapisi tembaga sedangkan puncak menara dihiasi hiasan perunggu karya L Zijl.
Kecuali batu bada dan kayu, semua bahan bangunan yang dipakai untuk gedung ini (di luar pondasi) diimport dari Eropa. Termasuk batu granit yang didatangkan dari tambang batu granit di pegunungan Fichtel, Bavaria, Jerman. Batu granis sebanyak sekitar 350 m3 ini telah dipotong dengan teliti di lokasi penambangan sesuai ukuran dalam gambar, sehingga ketika tiba di Semarang selanjutnya dipasang tanpa perlu ada penyesuaian. Karena sarana transportasi pada masa itu belum secanggih sekarang, sering terjadi kelambatan pengiriman yang pada gilirannya mengganggu jadwal penyelesaian bangunan. Belum lagi kesulitan ketika membongkar di pelabuhan dan membawanya ke lokasi proyek. Terdapat oranamen relief di atas pintu utama. Relief ini menggambarkan rida kereta api bersaya yang sampai masa Djawatan Kereta Api (DKA) merupakan lambang perusahaan kereta api tersebut. Di atas rida bersayap terdapat relief makare seperti yang ada di candi-candi di pulau Jawa. Tidak diketahui siapa seniman pembuatnya.

http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Arevitalisasi-lawang-sewu&catid=53&Itemid=143&lang=id
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=273&Itemid=249&lang=id
http://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu






Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta



Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 2013, pukul 10.30 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo.
Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini.
Dalam buku yang ditulis Darmosugito dkk berjudul “Kota Jogjakarta 200 Tahun” disebutkan bahwa terdapat tiga perkampungan yang dihuni oleh para pendatang diantaranya: pertama, kampung orang kulit putih yang mendiami daerah Lodjikecil meluas ke jalan Setjodiningratan (dahulu Kampemen Straat), Bintaran, Jetis, dan Kotabaru. Kedua, perkampungan orang Arab yang menempati daerah Sayidan, dan ketiga yaitu perkampungan Tiong Hoa atau yang dikenal dengan Pecinan yang terletak di daerah Kranggan, kemudian berkembang ke tempat-tempat perdagangan lainnya di sepanjang Jalan Malioboro ."Apotik Kimia Farma/Dok. Joe Marbun" Secara spesifik Dulbachri juga mengklasifikasikan masyarakat ke dalam 4 (empat) bagian berdasarkan pengelompokan sosial ekonomi yaitu :
1. Rural urban cluster (kelompok penduduk yang cara hidupnya masih sama dengan penduduk desa) Seperti: Kotagede, Tegalrejo, Umbulharjo, Mergangsan, Mantrijeron, dan Wirobrajan.
2. Official cluster (kelompok pegawai) biasanya bekas tempat tinggal orang-orang Belanda seperti Baciro, Kotabaru, Cemorojajar, serta Pakel (komp. Wartawan).
3. Chinese Cluster (kelompok orang-orang cina) di sepanjang jalan Malioboro, Mangkubumi, Sudirman, Diponegoro, dan Urip Sumoharjo, serta di pasar seperti Kranggan, Pajeksan, Gandekan, Ketandan, dan beberapa tempat lainnya.
4. Indonesia Merchant Cluster (Kelompok pedagang Indonesia) seperti Karangkajen, Prawirotaman, Purbayan, Prenggan, Kauman, Suronatan, dan perkampungan di dalam benteng.
Peristiwa sejarah tentang perkampungan di Yogyakarta sebagaimana disebutkan diatas sangat menentukan perkembangan kota Yogyakarta di kemudian hari. Hal ini tentu selalu menarik untuk dipelajari dan dikembangkan. Sebut saja Malioboro sebagaimana menjadi topik dalam diskusi ini.
Ada beberapa versi tentang asal mula kata Malioboro. Dalam catatan Kapujanggan Keraton, nama Malioboro diambil dari nama salah satu Pesanggrahan Djajengrana (Amir Amsjah) . Namun pendapat lain mengatakan bahwa Malioboro berasal dari kata Marlborough, gelar John Churcill, seorang kepala wilayah Malrborough pertama yang juga seorang gubernur jenderal Inggris yang cukup terkenal di masanya. Sedangkan menurut P.B.R. Carey, Malioboro yang disebut berasal dari kata Malborough, perlu dikaji kembali, karena Inggris berkuasa di Yogyakarta hanya sebentar yaitu pada tahun 1811 – 1816. P.B.R Carey justru berpendapat bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanksekerta Malyabhara yang artinya karangan bunga karena setiap ada perayaan atau prosesi, Malioboro selalu dipenuhi karangan bunga. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi Malioboro pada masa lalu sebagai jalan yang dilalui pada saat berlangsungnya prosesi yang dilaksanakan oleh kraton .
Berbagai macam julukan diberikan terhadap Kawasan Malioboro yaitu sebagai Kawasan Pemerintahan, Kawasan Pariwisata, Kawasan Ekonomi, Kawasan Seniman dan Sastrawan, dan tentu sebutan lainnya. Malioboro merupakan citra kawasan Yogyakarta yang dikenal tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di daerah lainnya di Indonesia, termasuk di luar negeri. Banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara berkunjung ke Yogyakarta, hampir dipastikan semuanya menyempatkan diri untuk mampir di Malioboro.

Malioboro dan Permasalahannya
Berbicara tentang Malioboro, barangkali bak cerita yang tidak pernah berakhir. Dalam Harian Kedaulatan Rakyat pada dekade 1960 – 1980an, permasalahan Malioboro selalu muncul. Mulai dari permasalahan pedagang kaki lima yang memanfaatkan trotoar jalan, maupun permasalahan becak dan andong yang memenuhi badan jalan di sepanjang Malioboro, dan akhir-akhir ini tambah masalah perparkiran. Terhadap permasalahan tersebut, terjadi perubahan secara fisik di jalan Malioboro seperti Lebar jalan, perubahan jalur, perubahan konsep jalan, termasuk jalur hijau dan trotoar . Bahkan permasalahan pengelolaan Kawasan Malioboro tidak pernah tuntas sampai saat ini. Rencana terakhir, Pemerintah Kota Yogyakarta merancang Kawasan Malioboro menjadi kawasan pedestrian dan public space. Namun demikian, tidaklah berjalan dengan mulus. Kasus taman di perempatan nol km, misalnya menuai kritik dari beberapa pihak karena dinilai terlalu besar. Masalah lain adalah masalah perparkiran di Malioboro menjadi pembahasan yang tak pernah selesai dibahas. Malioboro sebagai kawasan ekonomi, setidaknya memiliki konsekuensi logis bahwa kawasan tersebut harus disesuaikan dengan peruntukan kawasannya. Tetapi kita juga lupa, bahwa Malioboro sebagai kawasan ekonomi tidak dapat kita lupakan terbentuk dari proses budaya yang berkembang di masyarakat pada masa itu.

Batik dan Kawasan Malioboro sebagai sebuah Paradoks
Pada Tanggal 02 Oktober 2009, di kota Abu Dhabi – Uni Emirat Arab, UNESCO resmi menetapkan Batik yang berasal dari tanah air Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia. Ini merupakan momentum puncak dari sejumlah rangkaian sidang The Committee for the Safeguarding of the Intangible Heritage UNESCO yang telah dimulai sejak tanggal 28 September 2009 yang lalu. Dampak ditetapkannya Batik sebagai warisan budaya dunia adalah pengakuan warga dunia terhadap Indonesia akan kekayaan budaya yang dimiliki. Pada sisi lain, industri batik di tanah air juga berkembang pesat seiring banyaknya warga dunia yang menggunakan batik sebagai pakaian resmi ataupun non resmi. Tentu hal ini berdampak pula secara ekonomi bagi pedagang di sepanjang Malioboro yang memang sudah sejak lama menjadikan batik sebagai barang komoditi andalan. Peran Malioboro untuk melestarikan batik maupun warisan budaya lainnya tentu sangat penting. Hampir seluruh barang dagangan tidak dapat dilepaskan dari produk industri kreatif yang merupakan repro dari warisan budaya. Namun kita, seakan lupa warisan budaya tidaklah selalu tanpa wujud (Intangible).
Malioboro sangat khas dengan aristektur kunonya. Hal inilah yang sering kali terlupakan, bahkan kebijakan yang dibuat tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Jikalau berbicara Malioboro, Karakteristik yang menonjol untuk kawasan Ketandan dan Malioboro adalah arsitektur bangunan dan aktivitas perdagangan. Daerah tersebut dipilih sebagai tempat tinggal sekaligus jual beli adalah karena beberapa faktor :
1. Letaknya yang strategis karena berdekatan dengan pusat perekonomian dan pusat pemerintahan
2. Ditepi jalan yang merupakan poros kota Yogyakarta
3.   Faktor keamanan terjamin karena berdekatan dengan benteng dan pusat kekuasaan.
Ciri-ciri arsitektur yang menonjol adalah arsitektur China: bagian atap yang berbentuk lancip seperti kepala naga pada sudut atap dan ujung bubungan dan beberapa ornamen, diantaranya terdapat pada roster/ lubang angin, dinding, ataupun listplank. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.




Malioboro Sebagai Kawasan Budaya
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tentu membawa konsekuensi logis dan yuridis bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Disamping memiliki hak pribadi, kita juga terikat dalam sebuah hak bersama atau yang dikenal dengan kewajiban kita sebagai warga negara. Dalam ketentuan umum UU CB 11/2010 pasal 1 angka 1 disebutkan tentang pengertian cagar budaya. Yang dimaksud dengan Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dari pengertian tersebut, ada 4 (empat) hal penting yang melekat dan menjadi titik penekanan tentang cagar budaya yaitu: 1) bersifat kebendaan, 2) perlu dilestarikan, 3) memiliki nilai penting, dan 4) proses penetapan .
Sedangkan yang dimaksud dengan Kawasan Cagar Budaya menurut UU CB 11/2010 pada pasal 1 poin 6 Yaitu Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kawasan Malioboro telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Cagar Budaya, menurut Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta. Hal tersebut berkaitan erat dengan keberadaan tempat bersejarah bernilai budaya, pariwisata dan untuk kepentingan penelitian. Dengan adanya penetapan sebagai kawasan cagar budaya maka wajib dijaga kelestariannya. Upaya penjagaan kawasan cagar budaya juga merujuk pada Perda DIY nomor 11 tahun 2005 tengan pengelolaan kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya, pasal 1 ayat 10, yaitu didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk mempertahankan benda dari proses kerusakan dan kemusnahan sehingga tetap terjaga keberadaannya baik secara fisik maupun nilai yang terkandung didalamnya

Rekomendasi Penataan Kawasan Malioboro
Pemaparan diatas hendaknya mengerucut pada satu pemahaman dan kesepemahaman yang sama, bahwa Kawasan Malioboro, tidak hanya sebagai Kawasan Ekonomi, tetapi juga sebagai Kawasan Budaya. Bangunan yang ada di sepanjang Malioboro adalah bangunan lama dan mewakili sejarah penting di masanya. Malioboro beriklim ekonomi karena selama ini memang seperti itu yang dibentuk. Yang paling banyak dipasang adalah papan nama dan papan reklame atau iklan. Kerugiannya adalah dari situ tidak diketahui adanya pembangunan, pembongkaran yang terjadi di sana. Hal ini tidak sesuai dengan fasad bangunan yang seharusnya tetap dijaga. Berbicara mengenai cagar budaya, belum semua pihak bisa menerima. Namun ada ide kreatif yang bisa dimunculkan sebagai bahan rekomendasi.
1. Pentingnya untuk mendokumentasikan secara lengkap Kawasan Malioboro sebagai bahan atau data dasar pengembangan Malioboro sebagai Kawasan Budaya. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa, akademisi, praktisi pelestarian, pemerintah, swasta, maupun masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro. Diharapkan Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Provinsi DIY dapat menjadi leading sector dalam kegiatan ini.
2. Pentingnya Heritage Mainstreaming dilakukan di Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk untuk Kawasan Malioboro. Hal ini perlu ditindaklanjuti secara serius oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan dorongan dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan lainnya. Kegiatan heritage mainstreaming belum ada di Jogja. Untuk itu, Slogan “Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Mendatang” menjadi penting sebagai bagian dari kampanye ke depan.
3. Kehadiran produk-produk warisan budaya sebagai barang komoditi pasar merupakan pintu masuk ajakan kepada masyarakat luas bahwa pelestarian warisan budaya penting tidak hanya pada saat menguntungkan diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain, dengan mengetahui secara utuh dan menyeluruh tentang pelestarian warisan budaya bangsa.
4. Perlu dibentuk Kelompok masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro untuk terlibat bersama dalam upaya penataan Kawasan Malioboro sebagai Kawasan Budaya bersama.
5. Dibutuhkan produk kebijakan sebagai panduan dan juga implementasi pelestarian warisan budaya. Hal ini merujuk pada UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dimana Kabupaten atau Kota memiliki tanggungjawab terhadap pelestarian warisan budaya bangsa.

https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Malioboro
Spirit Kawasan Malioboro Sebagai Kawasan Budaya Oleh Jhohannes Marbun


No comments:

Post a Comment