Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah
Lawang
Sewu merupakan sebuah gedung di Semarang, Jawa Tengah yang merupakan kantor
dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun
1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu
disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat
setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut
memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai
seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga
masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan
kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor
Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api
Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando
Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian
Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan
sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di
Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi
pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan
Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan
Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai
salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut
dilindungi.
Saat
ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi
yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta
Api Persero. Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang dibangun
oleh pemerintahan kolonial Belanda, pada 27 Februari 1904. Awalnya bangunan
tersebut didirikan untuk digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch
Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau Kantor Pusat Perusahan Kereta Api
Swasta NIS. Sebelumnya kegiatan administrasi perkantoran NIS dilakukan di
Stasiun Samarang NIS. Namun pertumbuhan jaringan perkeretaapian yang cukup
pesat, dengan sendirinya membutuhkan penambahan jumlah personel teknis dan
bagian administrasi yang tidak sedikit seiring dengan meningkatnya aktivitas
perkantoran. Salah satu akibatnya kantor pengelola di Stasiun Samarang NIS
menjadi tidak lagi memadai. NIS pun menyewa beberapa bangunan milik perseorangan
sebagai jalan keluar sementara. Namun hal tersebut dirasa tidak efisien. Belum
lagi dengan keberadaan lokasi Stasiun Samarang NIS yang terletak di kawasan
rawa-rawa hingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan
penting. Kemudian diputuskan untuk membangun kantor administrasi di lokasi
baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota
berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang
(sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar
Kendalweg (jalan raya menuju Kendal). NIS mempercayakan rancangan gedung kantor
pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J.
Ouendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan
dilakukan di Negeri Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke kota
Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan
denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula
kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangi di Amsterdam tahun 1903.
Konservasi Bangunan Lawang Sewu
Konservasi
dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menghambat atau melindungi bangunan
dari pengaruh penyebab kerusakan lebih lanjut sehingga dapat memperpanjang usia
bangunan. Bidang konservasi mempunyai tugas yang penting dalam pemugaran
bangunan cagar budaya yaitu sejak sebelum pemugaran, pelaksanaan pemugaran dan
setelah pemugaran selesai. Di dalam studi
pemugaran gedung Lawang Sewu ini, bidang konservasi melaksanakan
pekerjaan observasi kerusakan bahan bangunan, rencana penanganan termasuk bahan
konservasi yang digunakan.
Berdasarkan
trilogi teknik konservasi tentang :
-
Pemahaman tentang kaidah dan estetika
konservasi (nasional maupun internasional)
-
Pemahaman tentang factor-faktor
intrinsic dan ekstrinsik penyebab kerusakan dan pelapukan bangunan
-
Perlakukan metode diagnostic dalam
melakukan kajian-kajian teknik konservasi
Gedung
Lawang Sewu bagi masyakarat dan petunjuk pengelolaan gedung Lawang Sewu bagi
pengelola bangunan. Menyadari bahwa warisan ini pada dasarnya tak terbarukan
(non renewable) dan perlahan tapi pasti akan punah, upaya pelestarian
menjadikan para pemerhati yang peduli akan nilai dan manfaat warisan budaya
berupaya dan berpikir positif bahwa masyarakat membutuhkan pembelajaran dan
pembuktian. PT Kereta Api (persero) dalam konteks sisem kebudayaan juga semakin
dituntut untuk menjadi pelopor di bidang heritage management, salah satunya
adalah melestarikan warisan budaya dilingkungannya sendiri sebagai bentuk upaya
memperkokoh jati diri perusahaan sekaligus sebagai bentuk Corporate Social Responsibility
kepada masyarakat.
Elemen estetika dan bahan bangunan
Kantor
NIS dihiasi berbagai ornament karya seniman dan pengrajin terkenal dari Belanda
di masa itu. Di ruang penerima terdapat kaca patri buatan JL Schouten dari
studio t’ Prinsenhof di kota Delft. Kaca patri ini sampai sekarang menjadi
salah satu daya tarik utama gedung ini. Bidang lengkung di atas balkon dihiasi
ornament tembikar karya HA Koopman dan dibuat di pembakaran tembikar Joost
Thooft dan Labouchere. Kubah kecil di puncak kedua buah menara air dilapisi
tembaga sedangkan puncak menara dihiasi hiasan perunggu karya L Zijl.
Kecuali
batu bada dan kayu, semua bahan bangunan yang dipakai untuk gedung ini (di luar
pondasi) diimport dari Eropa. Termasuk batu granit yang didatangkan dari
tambang batu granit di pegunungan Fichtel, Bavaria, Jerman. Batu granis
sebanyak sekitar 350 m3 ini telah dipotong dengan teliti di lokasi penambangan
sesuai ukuran dalam gambar, sehingga ketika tiba di Semarang selanjutnya dipasang
tanpa perlu ada penyesuaian. Karena sarana transportasi pada masa itu belum
secanggih sekarang, sering terjadi kelambatan pengiriman yang pada gilirannya
mengganggu jadwal penyelesaian bangunan. Belum lagi kesulitan ketika membongkar
di pelabuhan dan membawanya ke lokasi proyek. Terdapat oranamen relief di atas
pintu utama. Relief ini menggambarkan rida kereta api bersaya yang sampai masa
Djawatan Kereta Api (DKA) merupakan lambang perusahaan kereta api tersebut. Di
atas rida bersayap terdapat relief makare seperti yang ada di candi-candi di
pulau Jawa. Tidak diketahui siapa seniman pembuatnya.
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Arevitalisasi-lawang-sewu&catid=53&Itemid=143&lang=id
http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=273&Itemid=249&lang=id
http://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu
Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan
Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota
Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos
Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro,
dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton
Yogyakarta.
Pada
tanggal 20 Desember 2013, pukul 10.30 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua
ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi
menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo
Mulyo.
Terdapat
beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu
Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg,
dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Jalan
Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan
kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual
makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman
yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis,
hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan ini.
Dalam
buku yang ditulis Darmosugito dkk berjudul “Kota Jogjakarta 200 Tahun” disebutkan
bahwa terdapat tiga perkampungan yang dihuni oleh para pendatang diantaranya:
pertama, kampung orang kulit putih yang mendiami daerah Lodjikecil meluas ke
jalan Setjodiningratan (dahulu Kampemen Straat), Bintaran, Jetis, dan Kotabaru.
Kedua, perkampungan orang Arab yang menempati daerah Sayidan, dan ketiga yaitu
perkampungan Tiong Hoa atau yang dikenal dengan Pecinan yang terletak di daerah
Kranggan, kemudian berkembang ke tempat-tempat perdagangan lainnya di sepanjang
Jalan Malioboro ."Apotik Kimia Farma/Dok. Joe Marbun" Secara spesifik
Dulbachri juga mengklasifikasikan masyarakat ke dalam 4 (empat) bagian
berdasarkan pengelompokan sosial ekonomi yaitu :
1.
Rural urban cluster (kelompok penduduk yang cara hidupnya masih sama dengan
penduduk desa) Seperti: Kotagede, Tegalrejo, Umbulharjo, Mergangsan,
Mantrijeron, dan Wirobrajan.
2.
Official cluster (kelompok pegawai) biasanya bekas tempat tinggal orang-orang
Belanda seperti Baciro, Kotabaru, Cemorojajar, serta Pakel (komp. Wartawan).
3.
Chinese Cluster (kelompok orang-orang cina) di sepanjang jalan Malioboro,
Mangkubumi, Sudirman, Diponegoro, dan Urip Sumoharjo, serta di pasar seperti
Kranggan, Pajeksan, Gandekan, Ketandan, dan beberapa tempat lainnya.
4.
Indonesia Merchant Cluster (Kelompok pedagang Indonesia) seperti Karangkajen,
Prawirotaman, Purbayan, Prenggan, Kauman, Suronatan, dan perkampungan di dalam
benteng.
Peristiwa
sejarah tentang perkampungan di Yogyakarta sebagaimana disebutkan diatas sangat
menentukan perkembangan kota Yogyakarta di kemudian hari. Hal ini tentu selalu
menarik untuk dipelajari dan dikembangkan. Sebut saja Malioboro sebagaimana menjadi
topik dalam diskusi ini.
Ada
beberapa versi tentang asal mula kata Malioboro. Dalam catatan Kapujanggan
Keraton, nama Malioboro diambil dari nama salah satu Pesanggrahan Djajengrana
(Amir Amsjah) . Namun pendapat lain mengatakan bahwa Malioboro berasal dari
kata Marlborough, gelar John Churcill, seorang kepala wilayah Malrborough
pertama yang juga seorang gubernur jenderal Inggris yang cukup terkenal di
masanya. Sedangkan menurut P.B.R. Carey, Malioboro yang disebut berasal dari
kata Malborough, perlu dikaji kembali, karena Inggris berkuasa di Yogyakarta
hanya sebentar yaitu pada tahun 1811 – 1816. P.B.R Carey justru berpendapat
bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanksekerta Malyabhara yang artinya
karangan bunga karena setiap ada perayaan atau prosesi, Malioboro selalu
dipenuhi karangan bunga. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi Malioboro
pada masa lalu sebagai jalan yang dilalui pada saat berlangsungnya prosesi yang
dilaksanakan oleh kraton .
Berbagai
macam julukan diberikan terhadap Kawasan Malioboro yaitu sebagai Kawasan
Pemerintahan, Kawasan Pariwisata, Kawasan Ekonomi, Kawasan Seniman dan
Sastrawan, dan tentu sebutan lainnya. Malioboro merupakan citra kawasan
Yogyakarta yang dikenal tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di daerah
lainnya di Indonesia, termasuk di luar negeri. Banyak wisatawan baik domestik
maupun mancanegara berkunjung ke Yogyakarta, hampir dipastikan semuanya menyempatkan
diri untuk mampir di Malioboro.
Malioboro dan Permasalahannya
Berbicara
tentang Malioboro, barangkali bak cerita yang tidak pernah berakhir. Dalam
Harian Kedaulatan Rakyat pada dekade 1960 – 1980an, permasalahan Malioboro
selalu muncul. Mulai dari permasalahan pedagang kaki lima yang memanfaatkan
trotoar jalan, maupun permasalahan becak dan andong yang memenuhi badan jalan
di sepanjang Malioboro, dan akhir-akhir ini tambah masalah perparkiran.
Terhadap permasalahan tersebut, terjadi perubahan secara fisik di jalan
Malioboro seperti Lebar jalan, perubahan jalur, perubahan konsep jalan,
termasuk jalur hijau dan trotoar . Bahkan permasalahan pengelolaan Kawasan
Malioboro tidak pernah tuntas sampai saat ini. Rencana terakhir, Pemerintah
Kota Yogyakarta merancang Kawasan Malioboro menjadi kawasan pedestrian dan public
space. Namun demikian, tidaklah berjalan dengan mulus. Kasus taman di
perempatan nol km, misalnya menuai kritik dari beberapa pihak karena dinilai
terlalu besar. Masalah lain adalah masalah perparkiran di Malioboro menjadi
pembahasan yang tak pernah selesai dibahas. Malioboro sebagai kawasan ekonomi,
setidaknya memiliki konsekuensi logis bahwa kawasan tersebut harus disesuaikan
dengan peruntukan kawasannya. Tetapi kita juga lupa, bahwa Malioboro sebagai
kawasan ekonomi tidak dapat kita lupakan terbentuk dari proses budaya yang
berkembang di masyarakat pada masa itu.
Batik dan Kawasan Malioboro sebagai
sebuah Paradoks
Pada
Tanggal 02 Oktober 2009, di kota Abu Dhabi – Uni Emirat Arab, UNESCO resmi
menetapkan Batik yang berasal dari tanah air Indonesia sebagai Warisan Budaya
Dunia. Ini merupakan momentum puncak dari sejumlah rangkaian sidang The
Committee for the Safeguarding of the Intangible Heritage UNESCO yang telah
dimulai sejak tanggal 28 September 2009 yang lalu. Dampak ditetapkannya Batik
sebagai warisan budaya dunia adalah pengakuan warga dunia terhadap Indonesia
akan kekayaan budaya yang dimiliki. Pada sisi lain, industri batik di tanah air
juga berkembang pesat seiring banyaknya warga dunia yang menggunakan batik
sebagai pakaian resmi ataupun non resmi. Tentu hal ini berdampak pula secara
ekonomi bagi pedagang di sepanjang Malioboro yang memang sudah sejak lama
menjadikan batik sebagai barang komoditi andalan. Peran Malioboro untuk
melestarikan batik maupun warisan budaya lainnya tentu sangat penting. Hampir
seluruh barang dagangan tidak dapat dilepaskan dari produk industri kreatif
yang merupakan repro dari warisan budaya. Namun kita, seakan lupa warisan
budaya tidaklah selalu tanpa wujud (Intangible).
Malioboro
sangat khas dengan aristektur kunonya. Hal inilah yang sering kali terlupakan,
bahkan kebijakan yang dibuat tidak terimplementasi dengan baik di lapangan.
Jikalau berbicara Malioboro, Karakteristik yang menonjol untuk kawasan Ketandan
dan Malioboro adalah arsitektur bangunan dan aktivitas perdagangan. Daerah
tersebut dipilih sebagai tempat tinggal sekaligus jual beli adalah karena
beberapa faktor :
1. Letaknya yang strategis karena
berdekatan dengan pusat perekonomian dan pusat pemerintahan
2. Ditepi jalan yang merupakan poros
kota Yogyakarta
3. Faktor
keamanan terjamin karena berdekatan dengan benteng dan pusat kekuasaan.
Ciri-ciri
arsitektur yang menonjol adalah arsitektur China: bagian atap yang berbentuk
lancip seperti kepala naga pada sudut atap dan ujung bubungan dan beberapa
ornamen, diantaranya terdapat pada roster/ lubang angin, dinding, ataupun
listplank. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena
itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan,
yakni Jawa dan Cina.
Malioboro Sebagai Kawasan Budaya
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tentu membawa
konsekuensi logis dan yuridis bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Disamping memiliki hak pribadi, kita juga terikat dalam sebuah hak bersama atau
yang dikenal dengan kewajiban kita sebagai warga negara. Dalam ketentuan umum
UU CB 11/2010 pasal 1 angka 1 disebutkan tentang pengertian cagar budaya. Yang
dimaksud dengan Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Dari pengertian tersebut, ada 4 (empat) hal penting yang melekat dan menjadi
titik penekanan tentang cagar budaya yaitu: 1) bersifat kebendaan, 2) perlu
dilestarikan, 3) memiliki nilai penting, dan 4) proses penetapan .
Sedangkan
yang dimaksud dengan Kawasan Cagar Budaya menurut UU CB 11/2010 pada pasal 1
poin 6 Yaitu Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki
dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau
memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Kawasan
Malioboro telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai Kawasan
Cagar Budaya, menurut Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta
Nomor 6 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta. Hal
tersebut berkaitan erat dengan keberadaan tempat bersejarah bernilai budaya,
pariwisata dan untuk kepentingan penelitian. Dengan adanya penetapan sebagai
kawasan cagar budaya maka wajib dijaga kelestariannya. Upaya penjagaan kawasan
cagar budaya juga merujuk pada Perda DIY nomor 11 tahun 2005 tengan pengelolaan
kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya, pasal 1 ayat 10, yaitu
didefinisikan sebagai upaya-upaya untuk mempertahankan benda dari proses
kerusakan dan kemusnahan sehingga tetap terjaga keberadaannya baik secara fisik
maupun nilai yang terkandung didalamnya
Rekomendasi Penataan Kawasan
Malioboro
Pemaparan
diatas hendaknya mengerucut pada satu pemahaman dan kesepemahaman yang sama,
bahwa Kawasan Malioboro, tidak hanya sebagai Kawasan Ekonomi, tetapi juga
sebagai Kawasan Budaya. Bangunan yang ada di sepanjang Malioboro adalah
bangunan lama dan mewakili sejarah penting di masanya. Malioboro beriklim
ekonomi karena selama ini memang seperti itu yang dibentuk. Yang paling banyak
dipasang adalah papan nama dan papan reklame atau iklan. Kerugiannya adalah
dari situ tidak diketahui adanya pembangunan, pembongkaran yang terjadi di
sana. Hal ini tidak sesuai dengan fasad bangunan yang seharusnya tetap dijaga.
Berbicara mengenai cagar budaya, belum semua pihak bisa menerima. Namun ada ide
kreatif yang bisa dimunculkan sebagai bahan rekomendasi.
1.
Pentingnya untuk mendokumentasikan secara lengkap Kawasan Malioboro sebagai
bahan atau data dasar pengembangan Malioboro sebagai Kawasan Budaya. Hal ini
dapat dilakukan dengan melibatkan mahasiswa, akademisi, praktisi pelestarian,
pemerintah, swasta, maupun masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro. Diharapkan
Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Provinsi DIY dapat menjadi leading
sector dalam kegiatan ini.
2.
Pentingnya Heritage Mainstreaming dilakukan di Yogyakarta dan sekitarnya,
termasuk untuk Kawasan Malioboro. Hal ini perlu ditindaklanjuti secara serius
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dengan dorongan dan dukungan
dari berbagai pemangku kepentingan lainnya. Kegiatan heritage mainstreaming
belum ada di Jogja. Untuk itu, Slogan “Memahami Masa Lalu untuk Masa Kini dan
Masa Mendatang” menjadi penting sebagai bagian dari kampanye ke depan.
3.
Kehadiran produk-produk warisan budaya sebagai barang komoditi pasar merupakan
pintu masuk ajakan kepada masyarakat luas bahwa pelestarian warisan budaya
penting tidak hanya pada saat menguntungkan diri sendiri, tetapi juga
bermanfaat bagi orang lain, dengan mengetahui secara utuh dan menyeluruh
tentang pelestarian warisan budaya bangsa.
4.
Perlu dibentuk Kelompok masyarakat di sekitar Kawasan Malioboro untuk terlibat
bersama dalam upaya penataan Kawasan Malioboro sebagai Kawasan Budaya bersama.
5.
Dibutuhkan produk kebijakan sebagai panduan dan juga implementasi pelestarian
warisan budaya. Hal ini merujuk pada UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, dimana Kabupaten atau Kota memiliki tanggungjawab terhadap pelestarian
warisan budaya bangsa.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Malioboro
Spirit Kawasan Malioboro Sebagai
Kawasan Budaya Oleh Jhohannes Marbun